Gelombang demonstrasi Agustus–September 2025 meninggalkan utang politik berupa 17+8 Tuntutan Rakyat yang kini menjadi tolok ukur akuntabilitas pemerintah.
Tuntutan itu mencerminkan perpaduan antara keresahan sosial, krisis ekonomi, dan krisis legitimasi yang dirasakan masyarakat setelah serangkaian kebijakan kontroversial.
Namun, daya gaung tuntutan kini mulai meredup di ruang publik, menyisakan pertanyaan besar tentang nasib demokrasi dan daya tahan gerakan rakyat di Indonesia.
Tuntutan rakyat muncul dari rangkaian aksi besar pada akhir Agustus, ketika ribuan mahasiswa dan elemen masyarakat turun ke jalan di Jakarta dan sejumlah kota besar.
Mereka menyoroti kegagalan negara dalam melindungi hak-hak dasar warga, mulai dari akses pendidikan hingga pengendalian harga pangan. Rangkaian 17 tuntutan utama dan 8 tambahan kemudian dibacakan sebagai ultimatum politik.
Pasca-ultimatum, demonstrasi berlanjut pada 9 September 2025 dengan tema ”Tagih Janji 17+8” di depan Gedung MPR/DPR/DPD. Aksi itu menunjukkan bahwa gerakan tidak berakhir dalam satu momentum, tetapi berupaya menjaga tekanan publik. Serikat buruh, guru, dan tenaga kesehatan ikut bergabung, memperluas basis gerakan di luar mahasiswa.
Selain aksi jalanan, gerakan simbolik juga mewarnai pengawalan tuntutan. Doa bersama, nyala lilin, hingga pertunjukan teater jalanan digelar di sejumlah kota. Aktivitas ini bukan sekadar ekspresi duka, melainkan juga strategi menjaga memori kolektif agar tuntutan tidak hilang dari kesadaran publik.
Advokasi hukum menjadi jalur lain yang ditempuh masyarakat sipil. LBH Jakarta, YLBHI, dan Kontras aktif mendampingi korban kekerasan serta menagih transparansi penyelidikan aparat. Jalur formal di DPR pun ditempuh dengan desakan agar pembahasan RUU strategis tidak ditunda.
Sejauh ini, capaian 17+8 Tuntutan Rakyat menunjukkan hasil yang beragam. Beberapa tuntutan memperoleh tindak lanjut konkret, sebagian lain terhenti di wacana, sementara sejumlah tuntutan strategis justru mandek sama sekali.
Publik menghadapi kenyataan bahwa jalan mewujudkan perubahan jauh lebih rumit daripada sekadar pernyataan resmi pemerintah.
Melihat progres hingga saat ini, hanya sepertiga tuntutan yang mulai ditindaklanjuti, sementara sisanya tersendat. Kategori ”sedang diproses” pun belum menjamin hasil karena banyak bergantung pada tarik ulur politik di DPR dan kepentingan elite. Publik berpotensi kecewa jika perkembangan ini tidak segera berbuah capaian nyata.
Situasi ini memperkuat kesan bahwa pemerintah cenderung merespons tuntutan dengan manajemen krisis jangka pendek, bukan komitmen reformasi jangka panjang.
Isu sensitif, seperti pemberantasan korupsi, politik dinasti, dan reformasi sektor keamanan, tampak sengaja dihindari. Sebaliknya, tuntutan yang lebih mudah ditangani, seperti operasi pasar dan dukungan UMKM, segera diklaim sebagai pencapaian.
Dari sisi masyarakat, data ini menjadi dasar penting untuk mengarahkan strategi advokasi. Gerakan sosial bisa memusatkan energi pada tuntutan yang sudah ada jalur politiknya, sembari terus menekan isu yang mandek. Dengan begitu, publik tidak sekadar menagih janji, tetapi juga mengawal dinamika legislasi dan kebijakan.
Polarisasi dan meredup
Di ruang digital, media sosial menjadi medan penting pengawalan. Tagar #17plus8TuntutanRakyat dan #TagihJanji sempat menduduki trending pada awal September. Influencer dan akademisi turut menyuarakan meski seiring waktu percakapan kian redup.
Temuan ini dikuatkan dengan pantauan percakapan di ranah media sosial yang dihimpun Litbang Kompas melalui Kompas Monitoring sepanjang 28 Agustus-21 September 2025.
Pemantauan dilakukan terhadap konten yang diunggah di Tiktok, Instagram, Facebook, Youtube, dan X. Selama tiga hari pemantauan, diperoleh sekitar 38.800 data percakapan dan konten di lima platform media sosial tersebut. Kata kunci yang digunakan, antara lain, ”17+8”, ”tuntutan rakyat”, ”#ResetIndonesia”, dan ”kawal17+8”.
Dari lini masa percakapan dan konten warganet terlihat bahwa frekuensi percakapan yang semula tinggi, seiring waktu mulai menurun. Puncak percakapan pertama terjadi pada 4 September 2025 dengan total 3.508 percakapan.
Lalu, di 9 September 2025, percakapan warganet mencapai klimaksnya dengan total 6.227 percakapan. Setelah itu, intensitas percakapan warganet mulai menurun hingga di 21 September hanya membuahkan 15 percakapan terkait ”17+8 Tuntutan Rakyat”.
Ditelusuri lebih jauh, sejak 17 September 2025, warganet mulai justru mempersoalkan para aktor (pemengaruh dan aktivis) yang selama ini menyuarakan tuntutan di akun mereka.
Opini dan persepsi publik terbelah, menuding para aktivis tersebut mengambil kesempatan dari undangan diskusi terkait gerakan sosial saat ini. Terlepas dari pergerakan akun buzzer dalam percakapan ini, tidak dapat dimungkiri bahwa tidak sedikit juga warganet yang akhirnya justru menaruh antipati kepada para aktor yang mengampanyekan tuntutan.
Fenomena ini juga dipengaruhi pula oleh siklus media sosial yang cepat bergeser. Isu kenaikan harga beras, spekulasi reshuffle kabinet, dan kontroversi kebijakan BBM satu pintu oleh Pertamina akhirnya mendominasi pemberitaan. Tanpa pengawalan intensif, energi publik terhadap tuntutan perlahan melemah.
Inilah salah satu indikasi adanya polarisasi pascademo yang makin mengaburkan tujuan awal bersama. Pantauan media sosial tersebut juga senada dengan hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada 8-12 September 2025. Polarisasi publik bercampur dengan sikap skeptis terhadap pemenuhan ”17+8 Tuntutan” dari pemerintah.
Sebanyak 43,4 persen hanya percaya sebagian tuntutan bisa dipenuhi, 38,8 persen tidak yakin sama sekali, dan hanya 16,1 persen yang optimistis.
Sementara di media sosial, terlihat sebagian warganet menilai tuntutan itu realistis dan harus diwujudkan segera, sementara kelompok lain menganggap terlalu utopis dan mustahil tercapai serentak. Perdebatan itu membuat isu rentan terfragmentasi, alih-alih membangun konsensus bersama.
Hasil jajak pendapat terkait isu pembebasan demonstran (salah satu isi tuntutan), menunjukkan tajamnya perbedaan pandangan publik. Sebanyak 54,9 persen responden mendukung pembebasan tanpa syarat, sementara 42,8 persen menolak. Perbedaan itu mencerminkan dua gagasan besar yang saling berhadapan, antara demokrasi sebagai ruang ekspresi dan stabilitas sebagai prioritas.
Kedua kubu menegaskan posisi ideologisnya dalam sistem demokrasi. Pendukung pembebasan menguatkan sikap antirepresif, sedangkan pihak penolak kian percaya bahwa ketegasan aparat adalah keniscayaan. Polarisasi ini memperlebar jarak persepsi antarkelompok dengan ruang kompromi yang makin terbatas.
Merawat perjuangan
Tantangan terbesar gerakan ”17+8 Tuntutan Rakyat” adalah mempertahankan perhatian publik. Gerakan sosial kerap menghadapi issue fatigue, saat masyarakat cepat lelah ketika hasil nyata tidak segera terlihat. Dalam konteks ini, strategi jangka panjang sangat diperlukan agar isu tetap hidup.
Konsolidasi antar-aktor gerakan juga mutlak dilakukan. Fragmentasi antara mahasiswa, buruh, aktivis lingkungan, dan komunitas digital bisa melemahkan daya tekan. Dengan menyatukan agenda, 17+8 tuntutan tetap bisa menjadi simbol persatuan alih-alih sekadar daftar aspirasi.
Selain itu, momentum harus terus diciptakan. Aksi simbolik pada tanggal-tanggal penting, misalnya setiap tanggal 5 dan 31 di bulan tersebut, bisa dijadikan pengingat bulanan bagi publik dan pemerintah. Dengan cara ini, memori kolektif terjaga meski isu lain bermunculan.
Gerakan ini juga berhadapan dengan realitas politik yang pragmatis. Pemerintah cenderung menunda isu sensitif menjelang pilkada, sementara DPR disibukkan dengan agenda politik elektoral. Maka, tekanan masyarakat sipil menjadi kunci agar tuntutan tidak tenggelam dalam kompromi politik.
Ke depan, publik harus menyadari bahwa 17+8 Tuntutan Rakyat bukan sekadar daftar masalah, melainkan cermin krisis kepercayaan terhadap negara. Jika tuntutan diabaikan, jurang antara rakyat dan pemerintah kian melebar. Sebaliknya, jika dijalankan, ia bisa menjadi momentum reformasi sosial-politik yang nyata.
Tantangan terbesar gerakan ini adalah menjaga nyala kesadaran publik di tengah derasnya isu politik dan ekonomi. Aksi lanjutan, advokasi hukum, dan strategi komunikasi kreatif menjadi modal penting agar gerakan tidak padam. Pada akhirnya, nasib 17+8 Tuntutan Rakyat akan ditentukan oleh seberapa jauh rakyat mampu mengawal janji negara. (LITBANG KOMPAS)
Serial Artikel
Baca Artikel
Gelombang demonstrasi Agustus–September 2025 meninggalkan utang politik berupa 17+8 Tuntutan Rakyat yang kini menjadi tolok ukur akuntabilitas pemerintah.
Tuntutan itu mencerminkan perpaduan antara keresahan sosial, krisis ekonomi, dan krisis legitimasi yang dirasakan masyarakat setelah serangkaian kebijakan kontroversial.
Namun, daya gaung tuntutan kini mulai meredup di ruang publik, menyisakan pertanyaan besar tentang nasib demokrasi dan daya tahan gerakan rakyat di Indonesia.
Tuntutan rakyat muncul dari rangkaian aksi besar pada akhir Agustus, ketika ribuan mahasiswa dan elemen masyarakat turun ke jalan di Jakarta dan sejumlah kota besar.
Mereka menyoroti kegagalan negara dalam melindungi hak-hak dasar warga, mulai dari akses pendidikan hingga pengendalian harga pangan. Rangkaian 17 tuntutan utama dan 8 tambahan kemudian dibacakan sebagai ultimatum politik.
Pasca-ultimatum, demonstrasi berlanjut pada 9 September 2025 dengan tema ”Tagih Janji 17+8” di depan Gedung MPR/DPR/DPD. Aksi itu menunjukkan bahwa gerakan tidak berakhir dalam satu momentum, tetapi berupaya menjaga tekanan publik. Serikat buruh, guru, dan tenaga kesehatan ikut bergabung, memperluas basis gerakan di luar mahasiswa.
Selain aksi jalanan, gerakan simbolik juga mewarnai pengawalan tuntutan. Doa bersama, nyala lilin, hingga pertunjukan teater jalanan digelar di sejumlah kota. Aktivitas ini bukan sekadar ekspresi duka, melainkan juga strategi menjaga memori kolektif agar tuntutan tidak hilang dari kesadaran publik.
Advokasi hukum menjadi jalur lain yang ditempuh masyarakat sipil. LBH Jakarta, YLBHI, dan Kontras aktif mendampingi korban kekerasan serta menagih transparansi penyelidikan aparat. Jalur formal di DPR pun ditempuh dengan desakan agar pembahasan RUU strategis tidak ditunda.
Sejauh ini, capaian 17+8 Tuntutan Rakyat menunjukkan hasil yang beragam. Beberapa tuntutan memperoleh tindak lanjut konkret, sebagian lain terhenti di wacana, sementara sejumlah tuntutan strategis justru mandek sama sekali.
Publik menghadapi kenyataan bahwa jalan mewujudkan perubahan jauh lebih rumit daripada sekadar pernyataan resmi pemerintah.
Melihat progres hingga saat ini, hanya sepertiga tuntutan yang mulai ditindaklanjuti, sementara sisanya tersendat. Kategori ”sedang diproses” pun belum menjamin hasil karena banyak bergantung pada tarik ulur politik di DPR dan kepentingan elite. Publik berpotensi kecewa jika perkembangan ini tidak segera berbuah capaian nyata.
Situasi ini memperkuat kesan bahwa pemerintah cenderung merespons tuntutan dengan manajemen krisis jangka pendek, bukan komitmen reformasi jangka panjang.
Isu sensitif, seperti pemberantasan korupsi, politik dinasti, dan reformasi sektor keamanan, tampak sengaja dihindari. Sebaliknya, tuntutan yang lebih mudah ditangani, seperti operasi pasar dan dukungan UMKM, segera diklaim sebagai pencapaian.
Dari sisi masyarakat, data ini menjadi dasar penting untuk mengarahkan strategi advokasi. Gerakan sosial bisa memusatkan energi pada tuntutan yang sudah ada jalur politiknya, sembari terus menekan isu yang mandek. Dengan begitu, publik tidak sekadar menagih janji, tetapi juga mengawal dinamika legislasi dan kebijakan.
Polarisasi dan meredup
Di ruang digital, media sosial menjadi medan penting pengawalan. Tagar #17plus8TuntutanRakyat dan #TagihJanji sempat menduduki trending pada awal September. Influencer dan akademisi turut menyuarakan meski seiring waktu percakapan kian redup.
Temuan ini dikuatkan dengan pantauan percakapan di ranah media sosial yang dihimpun Litbang Kompas melalui Kompas Monitoring sepanjang 28 Agustus-21 September 2025.
Pemantauan dilakukan terhadap konten yang diunggah di Tiktok, Instagram, Facebook, Youtube, dan X. Selama tiga hari pemantauan, diperoleh sekitar 38.800 data percakapan dan konten di lima platform media sosial tersebut. Kata kunci yang digunakan, antara lain, ”17+8”, ”tuntutan rakyat”, ”#ResetIndonesia”, dan ”kawal17+8”.
Dari lini masa percakapan dan konten warganet terlihat bahwa frekuensi percakapan yang semula tinggi, seiring waktu mulai menurun. Puncak percakapan pertama terjadi pada 4 September 2025 dengan total 3.508 percakapan.
Lalu, di 9 September 2025, percakapan warganet mencapai klimaksnya dengan total 6.227 percakapan. Setelah itu, intensitas percakapan warganet mulai menurun hingga di 21 September hanya membuahkan 15 percakapan terkait ”17+8 Tuntutan Rakyat”.
Ditelusuri lebih jauh, sejak 17 September 2025, warganet mulai justru mempersoalkan para aktor (pemengaruh dan aktivis) yang selama ini menyuarakan tuntutan di akun mereka.
Opini dan persepsi publik terbelah, menuding para aktivis tersebut mengambil kesempatan dari undangan diskusi terkait gerakan sosial saat ini. Terlepas dari pergerakan akun buzzer dalam percakapan ini, tidak dapat dimungkiri bahwa tidak sedikit juga warganet yang akhirnya justru menaruh antipati kepada para aktor yang mengampanyekan tuntutan.
Fenomena ini juga dipengaruhi pula oleh siklus media sosial yang cepat bergeser. Isu kenaikan harga beras, spekulasi reshuffle kabinet, dan kontroversi kebijakan BBM satu pintu oleh Pertamina akhirnya mendominasi pemberitaan. Tanpa pengawalan intensif, energi publik terhadap tuntutan perlahan melemah.
Inilah salah satu indikasi adanya polarisasi pascademo yang makin mengaburkan tujuan awal bersama. Pantauan media sosial tersebut juga senada dengan hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada 8-12 September 2025. Polarisasi publik bercampur dengan sikap skeptis terhadap pemenuhan ”17+8 Tuntutan” dari pemerintah.
Sebanyak 43,4 persen hanya percaya sebagian tuntutan bisa dipenuhi, 38,8 persen tidak yakin sama sekali, dan hanya 16,1 persen yang optimistis.
Sementara di media sosial, terlihat sebagian warganet menilai tuntutan itu realistis dan harus diwujudkan segera, sementara kelompok lain menganggap terlalu utopis dan mustahil tercapai serentak. Perdebatan itu membuat isu rentan terfragmentasi, alih-alih membangun konsensus bersama.
Hasil jajak pendapat terkait isu pembebasan demonstran (salah satu isi tuntutan), menunjukkan tajamnya perbedaan pandangan publik. Sebanyak 54,9 persen responden mendukung pembebasan tanpa syarat, sementara 42,8 persen menolak. Perbedaan itu mencerminkan dua gagasan besar yang saling berhadapan, antara demokrasi sebagai ruang ekspresi dan stabilitas sebagai prioritas.
Kedua kubu menegaskan posisi ideologisnya dalam sistem demokrasi. Pendukung pembebasan menguatkan sikap antirepresif, sedangkan pihak penolak kian percaya bahwa ketegasan aparat adalah keniscayaan. Polarisasi ini memperlebar jarak persepsi antarkelompok dengan ruang kompromi yang makin terbatas.
Merawat perjuangan
Tantangan terbesar gerakan ”17+8 Tuntutan Rakyat” adalah mempertahankan perhatian publik. Gerakan sosial kerap menghadapi issue fatigue, saat masyarakat cepat lelah ketika hasil nyata tidak segera terlihat. Dalam konteks ini, strategi jangka panjang sangat diperlukan agar isu tetap hidup.
Konsolidasi antar-aktor gerakan juga mutlak dilakukan. Fragmentasi antara mahasiswa, buruh, aktivis lingkungan, dan komunitas digital bisa melemahkan daya tekan. Dengan menyatukan agenda, 17+8 tuntutan tetap bisa menjadi simbol persatuan alih-alih sekadar daftar aspirasi.
Selain itu, momentum harus terus diciptakan. Aksi simbolik pada tanggal-tanggal penting, misalnya setiap tanggal 5 dan 31 di bulan tersebut, bisa dijadikan pengingat bulanan bagi publik dan pemerintah. Dengan cara ini, memori kolektif terjaga meski isu lain bermunculan.
Gerakan ini juga berhadapan dengan realitas politik yang pragmatis. Pemerintah cenderung menunda isu sensitif menjelang pilkada, sementara DPR disibukkan dengan agenda politik elektoral. Maka, tekanan masyarakat sipil menjadi kunci agar tuntutan tidak tenggelam dalam kompromi politik.
Ke depan, publik harus menyadari bahwa 17+8 Tuntutan Rakyat bukan sekadar daftar masalah, melainkan cermin krisis kepercayaan terhadap negara. Jika tuntutan diabaikan, jurang antara rakyat dan pemerintah kian melebar. Sebaliknya, jika dijalankan, ia bisa menjadi momentum reformasi sosial-politik yang nyata.
Tantangan terbesar gerakan ini adalah menjaga nyala kesadaran publik di tengah derasnya isu politik dan ekonomi. Aksi lanjutan, advokasi hukum, dan strategi komunikasi kreatif menjadi modal penting agar gerakan tidak padam. Pada akhirnya, nasib 17+8 Tuntutan Rakyat akan ditentukan oleh seberapa jauh rakyat mampu mengawal janji negara. (LITBANG KOMPAS)
Serial Artikel
Baca Artikel